Siti Hinggil di TMII Anjungan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Rumah bagi orang Jawa adalah salah satu kebutuhan pokok di samping pangan dan sandang (pakaian). Selama proses mendirikan rumah yaitu mulai dari persiapan, penentuan tempat, pemilihan bahan bangunan, saat pengerjaan harus diseleksi dan diperhitungkan secara teliti. Menurut kepercayaan orang Jawa apabila perhitungan itu meleset bisa mengakibatkan hal-hal yang kurang baik bagi penghuninya.
Lokasi rumah misalnya dicarikan yang letaknya strategis, keadaan tanah baik dan sumber air (misal untuk sumur) cukup baik. Hal ini disebabkan orang Jawa mempunyai kepercayaan ada jenis-jenis tanah yang kurang baik. Bahan bangunan sebisa mungkin dicarikan yang berkualitas baik misal untuk kayu dipakai kayu jati. Kayu inipun dipilih yang membawa pengaruh baik bagi penghuninya, karena ada kayu yang menurut pertumbuhannya apabila dipakai sebagai bahan bangunan tidak baik atau membawa pengaruh buruk. Untuk bambu menggunakan bambu petung, wulung dan apus. Saat pengerjaan pun dicarikan hari baik berdasarkan hitungan Jawa. Hal ini diuraikan cukup jelas dalam buku ini, mulai dari pengerjaan pondasi sampai pemasangan atap. Termasuk juga sesaji dan upacara yang diperlukan. Apabila ada satu atau dua hal yang sebenarnya kurang baik tetapi tidak bisa dihindari (misal kondisi dan lokasi tanah) untuk menghindari hal-hal yang kurang baik orang akan membuat penolak bala terlebih dahulu.
Berdasarkan sejarah perkembangannya bentuk rumah tinggal orang Jawa ada empat macam berdasarkan bentuk atapnya, yaitu
1. Rumah Adat Panggangpe
Panggang artinya dipanaskan di atas bara api. Sedangkan pe berati dijemur. Rumah panggang Pe merupakan bangunan kecil yang terdiri dari sebuah atap dengan empat buah tiang atau lebih yang di atasnya biasanya dipergunakan untuk menjemur barang-barang.
1.a. Panggangpe Gedhang Selirang
Merupakan rumah Panggang Pe Pokok yang ditambah atap emper di bagian belakang.
1.b. Panggangpe Trajumas
Merupakan rumah yang memakai tiga buah pengeret dan enam buah tiang.
1.c. Panggangpe Barengan
Merupakan rumah yang berderet terdiri dari beberapa rumah Panggang Pe, dimana rumah yang satu membelakangi yang lain dan saling menggunakan balok blandar dan tiang sesamanya.
2. Rumah Adat Kampung
Merupakan rumah dengan denah empat persegi panjang, bertiang empat dengan dua buah atap persegi panjang pada sisi samping atas ditutup dengan tutup keyong. Rumah ini kebanyakan dimiliki oleh orang kampung atau orang jawa menyebutnya desa.
2.a. Kampung Srotong
2.b. Kampung Dara Gepak
Merupakan Rumah Kampung yang beratap emper pada keempat sisinya.
2.c. Kampung Gajah Njerum
Merupakan Rumah Kampung dengan tiga buah emper terdiri dari dua atap emper di muka dan belakang dan sebuah lagi pada sisi samping. Sedangkan sisi samping yang lain tidak diberi atap emper.
3. Rumah Adat Limasan
Dinamakan Limasan, karena jenis rumah tradisional ini mempunyai denah empat persegi panjang atau berbentuk limas. Rumah bentuk limasan yang sederhana terdiri dari empat buah atap, terdiri dua buah atap bernama kejen atau cocor serta dua buah atap bernama bronjong yang berbentuk jajaran genjang sama kaki. Kejen berbentuk segi tiga sama kaki seperti enam atap keyong, namun memiliki fungsi yang berbeda. Pada perkembangan selanjutnya rumah limasan diberi penambahan pada sisi-sisinya yang disebut empyak emper atau atap emper.
3.a. Limasan Apitan
Merupakan Rumah Limasan bertiang empat dengan sebuah ander yang menopang molo di tengah-tengahnya.
3.b. Limasan Klabang Nyander
Merupakan Rumah Limasan yang mempunyai pengeret lebih dari empat buah sehingga kelihatan panjang. Bentuk rumah ini semata-mata dilihat banyaknya pengeret dan tiang (tengah) serta susunan tiang.
3.c. Limasan Pacul Gowang
Merupakan Rumah Limasan memakai sebuah atap emper terletak pada salah satu sisi panjangnya, sedangkan pada lainnya diberi atap cukit (atap tritisan) dan sisi samping dengan atap trebil.
4. Rumah Adat Joglo
4.a. Joglo Sinom
4.b. Joglo Pangrawit
4.c. Joglo Semar Tinandu
Rumah Joglo Pengrawit karena memakai lambang gantung, atap bronjong merenggang dari atap penanggap, atap emper merenggang dari atap penanggap, tiap sudut diberi tiang (saka) bentung tertancap pada sudut, tumpang lima buah, memakai singup dan geganja.
Rumah Joglo yang memakai dua buah pengeret dan dua buah tiang (saka) guru diantara dua buah pengeret. Biasanya dua buah tiang tadi diganti dengan tembok sambungan dari beteng kebanyakan rumah bentuk ini dipakai sebagai regol (gapura).
Susunan ruangan yang terdapat dalam rumah tradisional ini tergantung pada besar kecilnya rumah, fungsi ruangan dan kebutuhan keluarga. "Panggangpe" adalah bentuk rumah dengan susunan ruangan yang paling sederhana sedangkan bentuk "joglo" mempunyai susunan ruangan yang lebih banyak.
Untuk bangunan tempat ibadah (langgar dan masjid) arsitektur tradisionalnya berbentuk "tajug". "Tajug" ini mirip "joglo" hanya atapnya tidak berbentuk " brunjung" seperti atap "joglo" tetapi lancip atau runcing. Jenis "tajug" ada beberapa diantaranya "tajug lawakan", "tajug lambang gantung" dan "tajug mangkurat".
Ragam hias adalah salah satu hal yang tidak terlupakan dalam arsitektur tradisional. Ragam hias tersebut dari yang sederhana sampai yang rumit. Fungsi ragam hias adalah untuk memberi keindahan pada bangunan dan juga prestise bagi pemiliknya. Ada beberapa ragam hias yaitu ragam hias flora (tumbuhan), fauna (binatang), alam serta agama (kepercayaan). Ragam hias flora diantaranya "lung-lungan", "saton" dan "tlacapan". Ragam hias fauna diantaranya "kemamang", "peksi garuda" dan "mirong". Ragam hias alam diantaranya "gunungan", makutha" dan "mega mendhung". Ragam hias agama (kepercayaan) diantaranya "mustaka",dan semacam "kaligrafi". Untuk bahan bambu hiasannya berupa bentuk-bentuk anyaman.
Informasi lebih lanjut hubungi
Peta TMII (https://id.wikipedia.org)
Paviliun Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur
Telp : (62) 21 8779 2078
Website: https://tamanmini.com/anjungan/anjungan-d.i.-yogyakarta
No comments:
Post a Comment